Pages

Friday, June 11, 2010

Antara Partisipasi dan Kebijakan Kehutanan


        Saat ini pemerintah telah berperan dalam pengembangan kebijakan yang menerapkan prinsip manajemen kolaboratif.  Prinsip yang dijalankan merupakan perwujudan pengembangan yang terjadi dalam pengelolaan masalah kehutanan. Masing-masing komponen baik pemerintah, masyarakat, maupun swasta memiliki peran dan kewenangan dalam penyelenggaran menuju Pelestarian Hasil Berkelanjutan.  Peran pemerintah tidak sepenuhnya mutlak. Ada sumbangsih dari masyarakat untuk ikut serta dalam pengelolaan dan pengawasan, hingga implementasinya.
Wajar jika dalam penerapan ini perlu adanya pengawasan dari masyarakat atau pihak lain yang terkait pelaksanaan kebijakan. Hal ini dikarenakan peraturan yang telah dibuat belum sepenuhnya berhasil.  Masalah illegal logging yang terjadi bahkan hingga saat ini belum ada penyelesaian yang tepat. Berbagai wacana telah digulirkan untuk menyelesaikannnya. Pemerintah berulang kali berulang kali membuat peraturan, walaupun masih bias menjalankan kebijakan kehutanan.
Landasan dasar melibatkan pilar-pilar kebijakan kehutanan yaitu sumber daya hutan, masyarakat, dan pemerintah. Masing-masing pilar berkoordinasi akan membentuk Sistem Ekonomi Politik Kehutanan. Koordinasi dari ketiga pilar tersebut belum cukup kuat. Jadi, dapat dikatakan bahwa dalam penyelesaian masalah kehutanan belum mencapai klimaks.
Permasalahan kehutanan semakin menglobal. Isu kehutanan semakin luas. Penyeleasaian masih biasa saja. Perbaikan menuju kualitas lingkungan hidup yang lebih baik menjadi harapan brersama. Perlu penjembatan yang mampu melakukan transformaatif kebijakan. Pemimpin lokal mampu menjadi penyelaras kebijakan kehutanan yang implementtaif. Bukan hanya pemimpin lokal yang implementatif saja, tetapi berpikiran global. Ini menjadi faktor pendukung yang mampu menjadi sumber yang kuat untuk masyarakat.
Pemikiran yang luas menjadi suatu hal pasti dimiliki. Ini merupakan kompetensi yang menonjol. Dalam dunia kehutanan hutan merupakan salah satu sumber daya kompleks. Hutan saling terkait satu dengan yang lain. Pengaruh manusia turut memberikan dampak yang besar pada sumber daya ini. Terlepas apakah itu positif atau negatif yang menjadi dorongan besar bahwa manusia sangat mendominnasi. Dominasi ini justru yang harus diperlakukan seadil-adilnya. Dalam artian bahwa manusia bertindak sesuai kearifan lokal. Mereka bertindak dalam upaya budaya-budaya yang melahirkan tradisi yang kental dengan alam. Ditambah lagi teknologi yang dapat mempermudah pelaksanaan yang lebih efektif. Kearifan lokal bukan tidak mau bersentuh dengan teknologi. Namun, dengan teknologi mampu ramah lingkungan. Kita tidak bisa mampu menolak arus perubahan teknologi. Ini menjadi salah satu kekuatan yang mendorong lebih baik.
Selanjutnnya, perhatian menuju pengelolaan hutan yang lebih baik adalah lahan  non hutan. Mengapa ini memberi pengaruh yang nyata? Tidak lain inilah yang menjadi isu yang sering tarik ulur antara satu dengan yang lain. Tarik ulur lahan hutan dengan penggunaan lahan lain menjadi hal yang sudah lama terjadi. Untuk itu butuh pemimpin lokal dalam kebutuhan ini. Analisa lahan yang berguna dan menerapkan win-win solution hingga sekarang sulit terealisasi. Agroforestry menjadi salah satu solusi yang perlu penanganan khusus. 
Hariadi Hariadi Kartodihardjo, staf pengajar pada Fakultas Kehutanan dan Program Pascasarja, IPB mengatakan dalam tulisannya bahwa kekaayaan hutan alam telah dikuras bertahu-tahun lebih menjadi ajang permainan politik-ekonomi yang tak terlihat bagi orang awam. Tidak lain, karena masih dibawah permukaan. Justru secara nyata peran kehutanan juga belum mendapat perhatian. Selama periode 1977-1998 hanya sekitar 2.5%.  Untuk itu perlu implementasi kebijakan yang mengandung bagian hal yang selalu di evaluasi dan digembor-grmborkan. Landasan yang tepat dalam mengatasi hal tesebut bagaimana menangani kebutuhan masyaraka secara ekonomi dengan memadukan kepentingan lingkungan, sehingga tercipta partisipasi aktif dari masyarakat sekitar hutan.

Refleksi Kejayaan Swasembada Beras

     Pangan menjadi kebutuhan bagi manusia. Kebutuhan pangan menajdi kebutuhan yang sangat strategis. Apalagi saat ini, pertumbuhan penduduk yang semakin besar juga harus diimbangi dengan ketersediaan pangan. Dalam teorinya, Robert Malthus mengemukakan bahwa pertumbuhan penduduk secara deret ukur dan pertumbuhan pangan menurut deret hitung. Artinya, pertumbuhan penduduk jauh lebih besar dari pada pertamban produktivitas pangan. Bahkan bagi mereka yang sependapat dengan teori tersebut sutu saat akan terjadi kelaparan tingkat tinggi. Terlepas dari hal yang masih menjadi diperdebatkan yang terpenting menjadi pemikiran bersama agar kebutuhan pangan bagi penduduk Indonesia terpenuhi dari produksi dalam negeri. Salah satu pangan yang penting yaitu beras. Beras tidak hanya menjadi komoditas strategis, tapi komoditas politis dan ekonomis. Beras kerap kali digunakan dalam pengambilan kebijakan dalam penetapan angka inflasi, penentuan ukuran kemiskinan.
      Beras memang menajdi sesuatu yang sangat penting. Bagi orang barat, mungkin sukar menegerti mengapa beras menajdi sangat pokok. Warga negara Indonesia dan negara-negara di Asia Tenggara yang baik nasi menajdi makanan yang pokok. Tiada sempurna kebutuhan makan tanpa makan nasi. Dapat dibayangkan seandainya suatu negara terbelenggu oleh kebutuhan beras? Sungguh ketergantungan ini membuat keberhasilan pemerintah semakin menurun.
     Keberhasilan yang terjadi pada tahun 1984 merupakan keberhasilan yang diraih karena kerja keras semua pihak. Ketersedian beras dalam negeri yang cukup disertai cadangan beras yang ada menjadi indicator dalam pencapaian swasembada beras tersebut. Salah satu komponen yang terkait dengan peningkatan swasembada beras adalah peran BULOG.Pemerintahan Soeharto tetap didasarkan atas pertanian rakyat, perekebunan yang berorientasi pada ekspor. Perkembangan iptek telah memajukan industri pertanian di Indonesia. Akan tetapi, hanya sebagian kecil dari rakyat Indonesia yang bekerja didalamnya.
    Permasalahan yang timbul dalam mencapai swasembada beras adalah permasalahan lahan garapan. Menurut Prof Donald Wilson, presiden keenam dari Pittsburg State University dalam bukunya yang berjudul Dari Era Pergolakan Menuju Swasembada mengatakan bahwa lahan garapan petani Indonesia sebagian besar luasnya hanya 2 hektar atau kurang, dan hanya sebagia kecil yang luasnya lebih dari 2 hektar. Justru ketika kita bandingkan dengan pertanian di Amerika jauh lebih luas dan memperkerjakan tenaga kerja cukup banyak.
    Pada awal repelita I (1968/69-1973/74) pemerintahan telah memberikan tekanan pada peningkatan produksi pertanian dengan target sebesar 47% dan beberapa target lain seperti peningkatan investasi pemerintah, program Keluarga Berencana. Sebagaian besar dari beberapa target telah tercapai. Namun, pada sector pertanian terpenuhi sebesar 25 %. Mulailah pada krisis beras yang yang terjadai pada tahun 1971. Tahun 1984 Soeharto telah menetapakan kebijakan yaitu Kebijakan yang ditempuh kemudian adalah menitikberatkan kepada usaha intensifikasi, dengan menaikkan produksi terutama produktivitas padi pada areal yang telah ada. Peningkatan produksi dilakukan dengan intensifikais masal dan bimbingan masal.
Pemerintah pun menecetak tenaga-tenaga penyuluh pertanian. Selanjutnya, tenaga kerja ini pun diberdayakan dalam Bimbingan Massal. Selain itu, kemudahan mendapatkan bibit unggul dari koperasi-koperasi. Koperasi pun menyediakan pupuk-pupuk kimia serta insektisida. Walaupun sekarang penggunaan bahan-bahan kimia semakin dikurangi dalam upaya pencegahan ikut berputarnya bahan kimia asing dalam bahan makanan.
    Pada masa pemerintahan Soeharto mengawali tumpuan pada sektor agraria. Selain itu mengeluarkan kebijakan yang bertumpu pada revolusi pangan. Bibit unggul pun diberikan, sehingga berdampak pada hasil panen padi. Sebelumnya petani panen padi hanya satu kali setahun, maka setelah adanya peniongkatan menajdi tiga kali panen. Momen bersejarah itu telah membalikkan image Indonesia sebagai pengimpor beras menjadi Negara yang mampu mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri. Tercatat pada Departemen Pertanian pada tahun 1969 menghasilkan 12.2 juta ton, tetapi tahun 1984 menghasilkan beras sebesar 25.8 juta ton. Bahkan sebagai wujud rasa syukur, pemerintahan Soeharto memberikan bantuan sebesar 100.000 ton kepada negara yang membutuhkan bantuan pangan, khususnya negara-negara di Afrika.