Saat ini pemerintah telah berperan dalam pengembangan kebijakan yang menerapkan prinsip manajemen kolaboratif. Prinsip yang dijalankan merupakan perwujudan pengembangan yang terjadi dalam pengelolaan masalah kehutanan. Masing-masing komponen baik pemerintah, masyarakat, maupun swasta memiliki peran dan kewenangan dalam penyelenggaran menuju Pelestarian Hasil Berkelanjutan. Peran pemerintah tidak sepenuhnya mutlak. Ada sumbangsih dari masyarakat untuk ikut serta dalam pengelolaan dan pengawasan, hingga implementasinya.
Wajar jika dalam penerapan ini perlu adanya pengawasan dari masyarakat atau pihak lain yang terkait pelaksanaan kebijakan. Hal ini dikarenakan peraturan yang telah dibuat belum sepenuhnya berhasil. Masalah illegal logging yang terjadi bahkan hingga saat ini belum ada penyelesaian yang tepat. Berbagai wacana telah digulirkan untuk menyelesaikannnya. Pemerintah berulang kali berulang kali membuat peraturan, walaupun masih bias menjalankan kebijakan kehutanan.
Landasan dasar melibatkan pilar-pilar kebijakan kehutanan yaitu sumber daya hutan, masyarakat, dan pemerintah. Masing-masing pilar berkoordinasi akan membentuk Sistem Ekonomi Politik Kehutanan. Koordinasi dari ketiga pilar tersebut belum cukup kuat. Jadi, dapat dikatakan bahwa dalam penyelesaian masalah kehutanan belum mencapai klimaks.
Permasalahan kehutanan semakin menglobal. Isu kehutanan semakin luas. Penyeleasaian masih biasa saja. Perbaikan menuju kualitas lingkungan hidup yang lebih baik menjadi harapan brersama. Perlu penjembatan yang mampu melakukan transformaatif kebijakan. Pemimpin lokal mampu menjadi penyelaras kebijakan kehutanan yang implementtaif. Bukan hanya pemimpin lokal yang implementatif saja, tetapi berpikiran global. Ini menjadi faktor pendukung yang mampu menjadi sumber yang kuat untuk masyarakat.
Pemikiran yang luas menjadi suatu hal pasti dimiliki. Ini merupakan kompetensi yang menonjol. Dalam dunia kehutanan hutan merupakan salah satu sumber daya kompleks. Hutan saling terkait satu dengan yang lain. Pengaruh manusia turut memberikan dampak yang besar pada sumber daya ini. Terlepas apakah itu positif atau negatif yang menjadi dorongan besar bahwa manusia sangat mendominnasi. Dominasi ini justru yang harus diperlakukan seadil-adilnya. Dalam artian bahwa manusia bertindak sesuai kearifan lokal. Mereka bertindak dalam upaya budaya-budaya yang melahirkan tradisi yang kental dengan alam. Ditambah lagi teknologi yang dapat mempermudah pelaksanaan yang lebih efektif. Kearifan lokal bukan tidak mau bersentuh dengan teknologi. Namun, dengan teknologi mampu ramah lingkungan. Kita tidak bisa mampu menolak arus perubahan teknologi. Ini menjadi salah satu kekuatan yang mendorong lebih baik.
Selanjutnnya, perhatian menuju pengelolaan hutan yang lebih baik adalah lahan non hutan. Mengapa ini memberi pengaruh yang nyata? Tidak lain inilah yang menjadi isu yang sering tarik ulur antara satu dengan yang lain. Tarik ulur lahan hutan dengan penggunaan lahan lain menjadi hal yang sudah lama terjadi. Untuk itu butuh pemimpin lokal dalam kebutuhan ini. Analisa lahan yang berguna dan menerapkan win-win solution hingga sekarang sulit terealisasi. Agroforestry menjadi salah satu solusi yang perlu penanganan khusus.
Hariadi Hariadi Kartodihardjo, staf pengajar pada Fakultas Kehutanan dan Program Pascasarja, IPB mengatakan dalam tulisannya bahwa kekaayaan hutan alam telah dikuras bertahu-tahun lebih menjadi ajang permainan politik-ekonomi yang tak terlihat bagi orang awam. Tidak lain, karena masih dibawah permukaan. Justru secara nyata peran kehutanan juga belum mendapat perhatian. Selama periode 1977-1998 hanya sekitar 2.5%. Untuk itu perlu implementasi kebijakan yang mengandung bagian hal yang selalu di evaluasi dan digembor-grmborkan. Landasan yang tepat dalam mengatasi hal tesebut bagaimana menangani kebutuhan masyaraka secara ekonomi dengan memadukan kepentingan lingkungan, sehingga tercipta partisipasi aktif dari masyarakat sekitar hutan.